Kamis, 12 Januari 2012

Perkawinan dan Cinta

Masalah cinta dan kasih sayang kini merebak menjadi topik pembicaraan dimana-mana, karena pengaruh
drama, sandiwara, cerpen, novel, film(sinetron), dan lain-lain. Anak-anak gadis banyak yang gandrung
dengan masalah ini. Saya khawatir mereka terpedaya oleh cinta. Lebih-lebih pada usia-usia puber danmemasuki usia baligh, sementara hati mereka masih kosong (dari pegangan dan pedoman hidup).
Akibatnya kata-kata yang manis mudah saja masuk ke dalam hati yang kosong ini.
Sangat disayangkan ada sebagian pemuda yang berbuat demikian dengan keterpedayaan atau malah
merasa senang dan nikmat mencumbu dan merayu, bahkan merasa bangga dengan perbuatannya itu. Ia
bangga jika dirinya dapat berhasil merayu banyak wanita.
Karena itu nasehat saya pada gadis muslimah, janganlah terpedaya oleh perkataan dan semua rayuan
gombal. Hendaklah anda mendengarkan nasehat orang tua atau wali. Janganlah memasuki kehidupan
rumah tangga hanya semata-mata memperturutkan perasaan, tetapi pertimbangkanlah segala sesuatunya
dengan akal sehat.
Saya sarankan kepada orang tua atau wali, hendaklah memperhatikan kemauan dan keinginan anak-anak
perempuannya. Janganlah si ayah membuang perasaan dan keinginan anaknya dan menjadikannya
sebagai amplop kosong tak berisi, lalu mengawinkannya dengan siapa saja yang dikehendakinya, sehingga
si anak memasuki kehidupan rumah tangga denga terpaksa. Karena si anak itulah kelak yang akan bergaul
denga suaminya, dan bukan si ayah. Tetapi ini tidak berarti bahwa antara pemuda dan si gadis harus sudah
hubungan cinta sebelum terjadinya perkawinan, namun paling tidak harus ada kerelaan hati.
Karena itu, Islam memerintahkan si peminang melihat pinangannya, begitu juga sebaliknya. Nabi SAW
bersabda: “Karena yang demikian itu lebih patut dapat mengekalkan kalian berdua.”
Syariat Islam menghendaki kehidupan rumah tangga ditegakkan atas dasar saling meridhai dari masingmasing
pihak yang berkepentingan. Si wanita hendaknya ridha, setidak-tidaknya memiliki kebebasan untuk
menyatakan kehendak dan pendapatnya secara terus terang, atau kalau ia merasa malu menyatakan
persetujuannya secara terus terang, bolehlah dengan bersikap diam :
“Anak gadis (perawan) itu hendaklah dimintai izinnya (untuk dikawinkan), dan janda itu lebih berhak
terhadap dirinya.” (HR. Al Jama’ah kecuali Bukhari)
Maksudnya, wanita yang sudah pernah kawin sebelumnya harus menyataka denga terus terang. “Saya
suka dan cocok (setuju).” Adapun seorang gadis bila dimintai ijinnya untuk dikawinkan kadang-kadang
merasa malu untuk menjawab, lalu ia diam atau tersenyum, maka yang demikian itu sudah dianggap cukup
bahwa ia setuju. Tetapi jika ia mengatakan, “Tidak”, atau menangis, maka ia tidak boleh dipaksa.
Nabi Muhammad SAW membatalkan perkawinan seorang wanita yang dikawinkan tanpa kerelaannya.
Dalam beberapa riwayat juga disebutkan juga ada seorang wanita yang menolak dikawinkan ayahnya. Lalu
ia mengadukan hal itu kepada Nabi SAW. Nabi menginginkan ia merelakan ayahnya, sekali, dua kali, tiga
kali. Ketika Nabi SAW melihat ia tetap pada pendiriannya, beliau bersabda, “Lakukanlah apa engkau
kehendaki.” Tetapi kemudian wanita itu berkata,”Saya perkenankan apa yang dilakukan ayah, tetapi saya
ingin agar para bapak (ayah) itu tahu bahwa mereka tidak punya hak apa-apa dalam masalah ini.”
Perlu saya tegaskan disini bahwa dalam perkawinan itu harus ada kerelaan si anak dan wali (orang tua)
sebagaiman yang disyaratkan oleh banyak fuqaha, sehingga mereka mengatakan wajibnya persetujuan
wali untuk kesempurnaan nikah. Disebutkan dalam hadits:
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil.” (HR. Daruqthni).
“Siapa saja wanita yang nikah tanpa memperoleh izin dari walinya, maka nikahnya batal, batal, batal.” (HR.
ABU Daud Ath Thayalisi)
Selain itu juga harus ada keridhaan ibu. Mengapa ibu? Karena ibulah yang banyak mengerti masalah anak
perempuannya. Rasululloh SAW bersabda:
“Ajaklah ibu-ibu bermusyawarah tentang anak-anak perempuan mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Daud)
Denga begitu, dia memasuki kehidupan rumah tangga dengan ridha. Ayah ridha, ibu ridha, dan seluruh
keluarganya ridha sehingga kehidupan rumah tangganya nanti tidak sesak nafas dan tidak keruh.
Yang lebih utama, hendaklah perkawinan dilakukan dengan cara yang dikehendaki oleh syariat. Wallohul
Muwaffiq ila atwamittariq.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar